La Luna (Episode 1)
La Luna
Matahari berada tepat di atas ubun-ubun saat murid-murid kelas XII IPA-3 tengah berada di lapangan basket mengikuti pelajaran olahraga Pak Dedy. Tampak di sudut lapangan salah seorang siswi terduduk kelelahan, keringat mengalir deras dari sela-sela rambutnya yang terikat sempurna seperti ekor kuda dan poninya yang sengaja dijepit ke atas agar tidak menghalangi aktivitasnya. Nafasnya terengah-engah, baru saja ia mencetak poin ke ring lawan yang membuat tim nya menang mutlak 20-8. Riuh kemenangan pun terdengar dari sepanjang tepi lapangan, tempat para penonton yang sebagian besar adalah murid XII IPA-3 sendiri yang belum kebagian tanding dan beberapa murid kelas lain yang ikut menonton karena guru kelas mereka absen mengajar.
“Keren banget Lun ! two thumbs up buat lo !” ucap seorang siswi berbandana oranye saat menghampiri temannya yang masih ngos-ngosan itu, sedangkan yang dituju hanya tersenyum.
“Tapi, kalo boleh gue usul. Ini kan cuma main basket buat pelajaran olahraga, jadi lo jangan terlalu jor-joran dong mainnya. Kasian tuh Tika cs kewalahan nanganin lo!”, ucapnya lagi sambil menyodorkan botol air mineral. “Nih buat lo !”.
Luna, cewe yang sedari tadi jadi objek pembicaraan gadis berbandana oranye itu pun akhirnya bersuara, “Gue udah lama ga main lagi, jadi itu tadi masih kaku banget, Dina”, kilah Luna yang tampak tak tahan dicereweti temannya itu.
“Wah, yang kaya gitu lo bilang kaku. Lo nge-dribble kesana-kemari, udah kaya bocah dikasih permen tau gak, asik sendiri”, ucap Dina, cewe berbandana oranye.
“Udah ah gue gerah banget, ganti baju dulu ya”, ucap Luna melengos meninggalkan Dina.
“Tuh anak, kalo dibilangin emang susah”, Dina menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Lonceng berbunyi tiga kali, itu tandanya aktivitas di SMA Kenanga harus berakhir karena waktu telah menunujukan pukul 14.00 tepat, waktunya para putih abu ini pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi itu hanya arti harfiah dari lonceng SMA Kenanga yang berbunyi tiga kali, kebanyakan dari penghuninya terkadang masih betah berlama-lama di dalamnya, entah untuk ngobrol-ngobrol santai di sisi taman sekolah yang bersebelahan dengan kantin Mang Ujen yang enak banget jadi tempat nongkrong atau memenuhi lapangan dan aula untuk yang rajin mengisi jam kosongnya setelah pulang sekolah dengan mengikuti ekstrakurikuler. Tapi tak sedikit pula yang langsung menghilang bahkan sebelum bunyi lonceng yang ketiga, sama seperti apa yang dilakukan Luna. Dengan terburu-buru ia menyambar buku-buku pelajarannya di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas Puma hitamnya. Dina, teman sebangkunya yang sebenarnya sudah tak asing lagi dengan ‘aksi kabur’ Luna yang secepat kilat menghilang begitu lonceng tanda pulang terdengar, sedikit curiga karena semenjak pelajaran olahraga tadi Luna mendadak diam membisu, walaupun Luna memang tipe orang yang tak banyak bicara, tapi semenjak pelajaran olahraga tadi ia terlihat memikirkan sesuatu, terlihat jelas saat pelajaran Bu Ratih, guru Kimia, Luna hanya menatap kosong ke luar jendela tanpa memperhatikan penjelasan Bu Ratih tentang Ikatan Kimia.
“Mau kemana lo buru-buru banget ?”, tanya Dina penasaran.
“Cabut lah kan udal bel”, ujar Luna.
“Gue nebeng dong, lo mau pulang kan ?”, Tanya Dina lagi.
“Ga, gue ada urusan”, jawab Luna sekenanya sambil memakai tasnya.
“Emang urusan apa ?”, Tanya Dina dengan nada yang semakin penasaran.
“Mau .. tau .. aja !”, ucap Luna dengan penekanan di tiap suku katanya mengisyaratkan Dina untuk tidak bertanya-tanya lagi.
“Oke deh, Luna ! ati-ati ya”, ucap Dina juga dengan penekanan di tiap suku katanya dengan sedikit cemberut karena usahanya untuk pulang gratis gagal.
“Gue duluan ya”, ucap Luna sebelum meninggalkan bangkunya.
***
Di jalanan sepi tepian kota Bogor, sebuah Jeep merah terbuka melaju kencang. Di dalamnya tampak seorang gadis berkulit bersih kecoklatan dengan rambut terikat membentuk ekor kuda dan poninya yang sudah melebihi pelipis alis berkibar-kibar tertiup angin. Mobil itu kini memasuki area kebun teh. Kanan dan kiri jalan begitu hijau dan indahnya, namun indahnya ciptaan Tuhan itu tak cukup membawa pelangi ke dalam suasana hati Luna, tatapannya tajam lurus ke arah jalan, pikirannya melayang-layang jauh ke masa lalu, saat Jeep merahnya memasuki melintasi jembatan yang di bawahnya mengalir aliran sungai kecil yang mengingatkannya pada saat ia tinggal di sini, di tempat ini, sudah lama sekali.
“Luna.. sini ! Adit dapat ikannya nih !”, seru seorang anak laki-laki sambil mengacung-acungkan pancingannya yang menegang karena umpannya dilahap seekor ikan.
“Mana.. mana ?”, dengan antusias Luna mendekati bocah laki-laki itu sambil menenteng ember kecil berisi air.
“Liat tuh, ikannya gede banget. Adit hebat kan ?”, ucap bocah laki-laki yang bernama Adit itu dengan riangnya.
“Wah, iya Adit hebat. Cepet digulung benang pancingnya nanti ikannya kabur!”, seru Luna.
“Iya nih, berat banget ikannya”, kata Adit sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menaklukan pancingan ikannya.
“Sini Luna bantuin”, seru Luna seraya membantu Adit memegangi pancingan ikannya.
Kedua bocah itu tampak riang gembira, senyum mereka mengembang lebar di bibir masing-masing.
Jeep merah memasuki jalan kecil di pinggir sebuah lapangan yang kelihatannya sudah lama tak dikunjungi orang. Di tengah lapangan itu ada satu ring basket yang sudah tak berjaring. Sesaat Luna menoleh ke arah lapangan itu, laju Jeep nya sedkit diperlambat. Bayangan-bayangan masa lalunya pun datang lagi.
“Huhuhuhu.. Adiiit, Luna pengen masukin bola basket. Huhu Adit jahat, masa Luna ga boleh masukin bola basketnya”, rengek Luna kecil sambil menutupi matanya yang berair dengan kedua tangan.
“Kalo mau masukin bolanya, rebut bolanya dari Adit dong!”, tantang Adit tak peduli dengan rengekan Luna.
“Adit jahat, Luna kan perempuan, gak bisa main basket !”, seru Luna masih dengan terisak-isak.
“Siapa bilang perempuan gak bisa main basket. Perempuan juga harus bisa kaya laki-laki. Harus kuat gak boleh cengeng ! kalo cengeng nanti digangguin terus sama orang !”, ucap Adit sambil terus men-dribble bolanya.
Luna mengalihkan pandangannya kembali ke jalan, matanya mulai berair menahan butir-butir airmata yang dipaksa menetes oleh gravitasi, tapi belum sempat airmata itu membasahi pipinya, mobil Jeep sampai di pekarangan sebuah rumah, raut muka Luna berubah seketika, kesedihan dipaksa pergi dari wajahnya. Jeep itu kini sudah terparkir di garasi rumah satu lantai yang begitu asri dan hijau dengan begitu banyak pot-pot bunga berwarna-warni. Di dalam Jeep, Luna memejamkan matanya sesaat, sambil menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya dan menghela nafas dalam-dalam lalu dihembuskannya kuat-kuat. Dimiringkannya spion mobil di depannya, lalu ia perhatikan pantulan wajahnya di spion itu. Dibenahinya rambut dan wajahnya, lalu diamatinya baju seragamnya, ia lupa tidak mengganti seragam sekolahnya, segera saja ia ambil jaket cokelat tua yang ada di jok belakang mobilnya. Saat ia turun dari Jeepnya, jaket cokelat itu sudah terpasang manis di tubuh mungilnya. Luna melangkahkan kaki menuju pintu masuk rumah mungil itu. Diketuknya pintu tiga kali, sunyi tak ada yang menjawab. Lalu diketuknya sekali lagi sambil berkata, “Nenek Nida.. ini Luna. Nenek di dalam ?”, Tanya Luna berharap ada penghuni rumah yang menjawab.
Sesaat kemudian wanita paruh baya keluar membukakan pintu.
“Eh, nak Luna. Ayo masuk, nenek Nida sedang di halaman belakang”, ucap wanita itu dengan senyuman hangatnya.
“Ah iya, Bu Rini, terimakasih”, ucap Luna.
Luna pun memasuki rumah mungil itu sambil dibimbing Bu Rini ke halaman belakang, walaupun sebenarnya Luna sudah tahu tempatnya.
“Nak Luna kemana saja, sudah lama tidak main ke sini ? Ibu sampai pangling, Nak Luna sudah besar sekarang”, Tanya wanita paruh baya yang disebut Bu Rini itu saat mengantarkan Luna menuju halaman belakang.
“Maaf Ibu, saya sibuk mempersiapkan kelulusan, sekarang kan saya kelas 3 SMA”, jawab Luna.
“Ah iya, Ibu lupa, nak Luna kan sebaya dengan Astrid, dia juga sedang sibuk mempersiapkan kelulusannya di Surabaya”, ucap Bu Rini.
“Astrid sekarang di Surabaya, Bu?”, tanya Luna sedikit terkejut.
“Iya, dari dulu dia memang suka diboyong om dan tantenya ke sana-kemari. Saat masuk SMP dulu kan, ia dibawa om nya ke Palembang untuk menemani om dan tantenya di sana, mendadak saat pertengahan kelas 2 SMA, Bukde dan Pakdenya yang di Surabaya meminta Astrid untuk menemaninya di sana. Ya, biarlah daripada di sini Ibu tidak bisa membiayai sekolahnya”, ucap Bu Rini.
“Iya Bu, salam saja dari saya buat Astrid nanti kalo dia pulang”, kata Luna sambil tersenyum.
“Iya, nah itu nenek Nida”, kata Bu Rini saat mereka keluar dari salah satu ruangan di rumah itu yang tersambung dengan halaman belakang.
“Ibu tinggal masak dulu ya Luna”, kata Bu Rini. “Iya, Bu”, ucap Luna.
Luna pun melangkahkan kakinya menghampiri wanita yang dari usianya bisa dibilang sudah sangat renta namun fisiknya masih lebih sehat dan bugar dari wanita lain yang seumuran dengannya.
“Wah wah, percuma saja bunga-bunga cantik ini disiram dan dirawat, tetap saja ga akan ada yang bisa ngalahin kecantikan nenek Nida yang tiap hari makin cantik dan awet muda”, seru Luna mengagetkan nenek Nida yang tengah asyik menyirami bunga warna-warni di halaman belakang.
Nenek Nida pun menoleh, sesaat ia terkejut dengan apa yang dilihatnya, namun kemudian senyum lebar mengembang di bibirnya, tangannya terbuka lebar hendak memeluk, Luna pun mendekat dan menyambut pelukan hangat nenek Nida.
“Luna kemana saja, nenek kangen sekali”, ucap nenek Nida.
“Luna juga kangen sama nenek”, seru Luna masih dengan memeluk nenek Nida.
“Sini duduk dulu di sini”,ajak nenek Nida ke bangku taman yang memang disediakan di sana.
Luna pun mengikuti nenek Nida. Mereka melanjutkan bincang-bincang mereka sambil menyantap kue coklat dan teh hangat di bangku taman.
“Kue coklat buatan nenek Nida emang paling enak deh, jadi pengen makan lagi dan lagi”, seru Luna sambil memakan kue coklat di depannya dengan lahap.
“Nanti Luna bawa pulang saja kuenya, nenek masih punya banyak ko!”, tawar nenek Nida.
“Wah Luna beruntung banget hari ini”, seru Luna riang.
Luna pun tambah lahap menikmati kue cokelat dan teh hangat yang sangat pas sekali dengan suasana Bogor yang sejuk, apalagi di sekitar kompleks perkebunan teh seperti rumah mungil nenek Nida ini. Nenek Nida pun tertawa melihat tingkah Luna. Ia menatap Luna dan tersenyum. Diperhatikannya gadis manis di depannya itu, pikirannya pun melayang ke masa lalu, saat gadis manis di depannya ini masih mampu digendongnya, saat gadis manis ini merengek-rengek meminta kue coklat dan saat gadis manis di depannya ini berebut kue coklat terakhir di toples dengan cucu tercintanya.
“Nenek kenapa ngeliatin Luna terus ?”, Luna menghentikan aktivitasnya menikmati lezatnya kue coklat nenek Nida, saat ia sadar bahwa sang nenek memandanginya.
“Ah ga ko, nenek cuma lagi inget sama Adit”, ucap nenek Nida.
Luna pun seketika terdiam.
“Kamu tumben pakai rok, terakhir nenek inget, Luna pakai rok waktu kelas 6 SD ya ?”, Tanya nenek.
“Ah iya, tadi Luna baru pulang sekolah langsung ke sini lupa ganti baju”, jawab Luna malu.
“Tapi nenek seneng ko liat Luna pake rok, waktu kecil dulu kan Luna emang seneng pakai rok, lomba manjat pohon sama Adit dulu juga pakai rok, lucu”, kata nenek Nida sambil tertawa kecil mengigat potongan kejadian di masa lalu.
“Tapi sekarang ko kebalik ya. Tahun lalu waktu nginep di sini, nenek kasih rok ga pernah dipake”,ucap nenek Nida.
Luna kembali terdiam. Dengan memaksakan senyum di bibirnya agar kesedihan tersamarkan dari wajahnya, Luna menjawab, “Tapi Adit kan ga suka kalo Luna pakai rok. Luna capek diejekin Adit mulu, jadi Luna pakai celana aja”, jawab Luna mencari-cari alasan.
“Haha.. Adit bukannya ga suka, tapi Adit emang pengen godain Luna aja tuh!”, seru nenek Nida.
“Adit kan sukanya sama Astrid nek !”, ucap Luna seraya mengadu.
Nenek Nida pun tertawa. Mereka hanyut dalam ingatan-ingatan masa lalu. Kenangan-kenangan akan Adit begitu melekat diingatan keduanya, seakan memori tentang Adit belum lama terjadi, padahal sudah 6 tahun yang lalu. Menjelang malam, saat matahari mulai terbenam, Luna pamit untuk pulang. Nenek Nida pun harus merelakan gadis manis yang sangat ia sayangi seperti cucunya itu pergi, khawatir Luna pulang kemalaman. Nenek Nida mengantar Luna ke pekarangan tempat Luna memarkir Jeep merahnya. Nenek Nida sudah tak kaget bahwa gadis manis seperti Luna mengendarai mobil sangar seperti Jeep merah ini. Setahun lalu saat nenek Nida bertanya kenapa Luna mengendarai Jeep ini, Luna hanya menjawab, “Luna pengen ngalahin Adit Nek, Luna punya mobil yang lebih keren dari Jeep tentaranya Adit”, Adit memang punya Jeep, warnanya coklat kehijauan, mirip corak tentara Indonesia, tapi cuma mobil-mobilan, bukan mobil beneran. Nenek Nida hanya bisa geleng-geleng kepala saja saat mendengar jawaban Luna.
Sebelum Luna pamit pulang, ia berlari ke arah Jeepnya dan mengambil karangan bunga yang cantik dari dalam Jeepnya, hampir saja ia lupa untuk memberikan karangan bunga yang sengaja tadi dibelinya. “Ini buat nenek, hampir saja Luna lupa”, ucap Luna. Luna pun memeluk Nenek Nida sebagai tanda perpisahan, tapi tiba-tiba saja nenek Nida bertanya, “Luna, waktu kecil kan ada Adit yang suka ngegodain kamu. Kalo sekarang, siapa yang suka godain Luna ?”, Tanya nenek Nida sedikit menggoda. Luna terkejut mendengar pertanyaan nenek NIda, namun spontan ia menjawab. “Apaan sih nenek”, semu merah berpendar di pipinya. Nenek Nida pun tertawa dan memeluk Luna sambil berkata, “Hati-hati di jalan ya, salam buat mamah”. Luna pun pergi dengan Jeep merahnya kembali ke kota Bandung, ke kehidupannya.
Di tempat sebelumnya, Nenek Nida berjalan perlahan melewati pekarangannya, terus berjalan meninggalkan rumah mungilnya memasuki jalan setapak menuju sebuah kompleks pemakaman pribadi. Tanah pemakaman itu dibatasi tembok-tembok yang ditumbuhi bunga warna-warni yang merambat seolah-olah tak menunjukan bahwa itu sebuah pemakaman. Nenek Nida membuka pagar kompleks pemakaman itu perlahan. Dilihatnya satu per satu pusara yang ada. Ada emapt buah pusara di sana. Tiga diantaranya berukuran besar dan satu sisanya berukuran kecil. Kaki-kaki rentannya langsung berjalan menuju pusara yang paling kecil. Dipandanginya sebentar pusara itu lalu tersenyum, “Nenek bawa kado special buat kamu, kamu pasti suka”. Diletakannya karangan bunga yang baru saja beberapa menit yang lalu diterimanya dari seorang gadis manis yang cantik, diletakannya tepat di pusara yang bertuliskan ‘ADITYA BAGASKARA’.
***
Hari masih pagi, kokok ayam masih bisa terdengar, namun sayang lokasi SMA Kenanga ada di tengah kota Bandung, jadi agak sulit untuk bisa mendengar suara ayam yang berkokok. Kicau burung masih bisa terdengar sayup-sayup meriuhkan suasana pagi di SMA Kenanga, tapi jelas suasana pagi ini lebih riuh dari biasanya. Bukan karena tiba-tiba datang segerombolan burung imigrasi yang beristirahat sejenak sambil bertengger dan berkicau riang di pepohonan taman sekolah yang memang rindang, tapi karena riuhnya segerombolan remaja putri putih abu yang disibukkan dengan kabar teraktual di sekolah mereka.
Dina, dari langkah pertamanya memasuki gerbang sekolah hari ini sebenarnya sudah bisa mengetahui apa isi berita teraktual yang beredar di sekolahnya. Ia dengar bahwa SMA Kenanga kedatangan siswa baru, dan yang paling mengherankan adalah siswa pindahan itu kelas 3 SMA. Aneh sekali, padahal 2 bulan lagi Ujian Akhir Nasional tiba tapi masih ada saja murid pindahan. Teman-teman di kelasnya sedari tadi asyik menerka-nerka apa penyebab murid baru ini pindah sekolah. Ada yang berpendapat bahwa pasti dia punya masalah dengan sekolah lamanya, mungkin dia sering bolos sekolah sampai akhirnya diskors dan dikeluarkan, atau dia ketauan melakukan pelanggaran yang menyebabkan sekolah lamanya tidak menolerir kesalahannya walaupun ia siswa ujian akhir. Banyak sekali spekulasi beredar yang intinya adalah apapun yang menyebabkan dia pindah sekolah pastilah anak ini anak yang bermasalah.
Lonceng berbunyi dua kali tanda jam masuk sekolah tiba. Murid-murid diharuskan sudah berada di kelas karena pelajaran akan dimulai. Luna sudah duduk manis di mejanya, teman sebangkunya sekaligus sahabat satu-satunya, Dina, pun sudah duduk manis di bangkunya. Semenit kemudian Bu Andari, wali kelas XII IPA-3 memasuki ruangan, lamgkahnya tak biasa karena tepat dibelakangnya seorang siswa laki-laki mengekor langkahnya mengikuti Bu Andari memasuki kelas.
Anak-anak di kelas yang tadinya tenang kini riuh dengan bisik-bisik yang isinya masih seputar berita teraktual sekolah yang ternyata objek beritanya ada di hadapan mereka sendiri. Kebanyakan murid perempuan langsung mengubah spekulasi mereka begitu melihat bahwa objek berita yang mereka vonis sebagai anak yang bermasalah jauh sekali dengan penampilannya.
“Dia rapih banget!”, kagum Vivi melihat sosok di depannya yang potongan rambutnya rapih sekali ala David Beckam dan kemeja yang juga rapih masuk ke dalam celana abu-abunya dengan sabuk dan dasi yang ber-badge SMA Kenanga.
“Kayanya dia pinter ko”, bisik Dewi saat melihat sebuah kacamata bertengger di hidungnya yang mancung sempurna.”WOW, idungnya keren banget! ”, ucap Tari tak sadar dengan intonasi cukup tinggi sehingga kelas bergelak sesaat.
“Dan kayanya bukan tipe yang suka bolos atau melanggar peraturan sekolah deh !”, ucap Desi mendukung pernyataan Dewi sebelumnya.
Luna yang sedari tadi jengah dengan bisik-bisik dan ekspresi berlebihan teman-temannya kemudian melirik Dina. Seolah bisa membaca arti lirikan mata Luna, Dina pun bergumam, “Anak-anak dari tadi heboh katanya ada anak baru pindahan yang, katanya juga, anak bermasalah. Eh tau –tau anak itu nongol di kelas kita, ya gini deh jadinya”, ucap Dina sambil mengangkat kedua bahunya.
“Tolong perhatiannya ya anak-anak!”, ucap Bu Andari meredam riuh kasak-kusuk kelas.
“Kita kedatangan teman baru, dia pindahan dari SMA Penegak, Ibu harap kalian bisa membantunya ya, 2 bulan lagi kan kita akan menghadapi Ujian Nasional”, ucap Bu Andari.
“Kita kedatangan teman baru, dia pindahan dari SMA Penegak, Ibu harap kalian bisa membantunya ya, 2 bulan lagi kan kita akan menghadapi Ujian Nasional”, ucap Bu Andari.
Anak-anak XII IPA-3 hanya bisa melongo mendengar penjelasan Bu ANdari itu. SMA Penegak jelas-jelas lebih bagus dan berprestasi disbanding SMA Kenanga, kenapa anak ini malah turun derajat. Kalo Bu Andari bilang untuk membantunya menghadapi UN, yang terjadi nanti mungkin sebaliknya, kelas XII IPA-3 yang justru butuh bantuan anak ini.
“Ya sudah, biar dia memperkenalkan dirinya sendiri, silahkan!”, ucap Bu Andari mempersilahkan.
“Perkenalkan nama saya RADITYA BASKORO”
Seketika itu mata Luna terbelalak. Ia terkejut dengan apa yang didengarnya. Nama itu mengingatkannya padaseseorang di masa lalunya. Ingatannya langsung kembali pada hari kemarin saat ia mengunjungi rumah mungil nenek Nida. Terbang jauh sekali sampai di saat-saat masa kecilnya, saat ia bersendagurau bersama sahabat kecilnya, Aditya.
Bersambung . . .
0 comments: